SBUMSBUM Akhwat

SBUM AKHWAT NOMOR 1161 – HUKUM WANITA SHALAT HANYA SENDIRI MENJADI MAKMUM DIANTARA PARA LELAKI

SBUM
Sobat Bertanya Ustadz Menjawab

 

NO : 1161

Dirangkum oleh Grup Islam Sunnah | GiS
https://grupislamsunnah.com

Kumpulan Soal Jawab SBUM
Silakan Klik : https://t.me/GiS_soaljawab

Judul bahasan

HUKUM WANITA SHALAT HANYA SENDIRI MENJADI MAKMUM DIANTARA PARA LELAKI

💬 Pertanyaan
Nama : Aning Gusmi
Angkatan : 04
Nama Admin : Sekartiwi
Nama Musyrifah : Bella Juwita
Grup : 36
Domisili : Yogyakarta

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Izin bertanya Ustadz,

Apakah sah shalat seorang wanita, jika ia hanya sendirian menjadi makmum di sebuah masjid yang hanya berisi para Laki-laki?

Sedangkan ia satu-satunya makmum wanita.

Mohon pencerahannya Ustadz.

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم.

  Jawaban

وعليكم السلام ورحمة اللّه وبركاته

بسم الله
وبارك فيك

Shalat berjamaah tidak diwajibkan bagi wanita dengan kesepakatan ulama’. ([43]) Dan shalat berjamaah bagi wanita hukumnya adalah sunnah, yaitu dengan mendirikan shalat berjama’ah yang terdiri dari kumpulan wanita tersendiri tanpa adanya laki-laki. Entah yang mengimami adalah seorang laki-laki ataupun perempuan. Namun, jika kehadirannya mengundang fitnah bagi kaum wanita maka dimakruhkan oleh sebagian ulama’. ([1])
Berdasarkan keumuman hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وفي رواية بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat berjamaah lebih utama dari pada shalat sendiri sebanyak dua puluh lima derajat.” Dan dalam riwayat lain “sebanyak dua puluh tujuh derajat.”  ([2])
Hadits ini menunjukkan keumuman, maka termasuk di dalamnya adalah kaum wanita jika mereka melaksanakan ibadah shalat secara berjamaah. ([3])
Berikutnya adalah hadits Ummu Waraqah binti Abdullah bin Al-Harits:

عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهَا فِي بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا

Dari Ummu Waraqah binti Abdullah bin Harits “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjungi rumahnya dan menyuruh seseorang untuk mengumandangkan adzan dan menyuruhnya untuk menjadi imam shalat untuk keluarganya.” ([4])

Demikian sebuah atsar yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa beliau memimpin shalat kaum wanita di waktu shalat maghrib, lalu beliau berdiri di dibarisan tengah (kaum wanita) dan mengeraskan bacaan. ([5])
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Hujairah binti Hushain:

أَمَّتْنَا أُمُّ سَلَمَةَ فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ قَامَتْ بَيْنَنَا

Ummu Salamah memimpin shalat bersama kami pada shalat ashar, beliau berdiri diantara kita. ([6])
Sisi Pendalilan: Bahwa ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma pernah memimpin shalat diantara kaum wanita dan itu cukup menunjukkan akan disunnahkannya shalat berjamaah bagi kaum perempuan. Disamping itu, kaum wanita termasuk golongan yang diperintahkan untuk mengerjakan ibadah wajib sebagaimana kaum laki-laki. ([7])

Lihat catatan kaki :

([1]) Menurut Syafi’iyyah, Hanabilah, pendapat ulama-ulama terdahulu dan yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Al-Qayyim, bahwa shalat berjamaah bagi kaum perempuan hukumnya adalah sunnah, yaitu dengan mendirikan shalat berjamaah sendiri, entah yang menjadi pemimpin shalat adalah seorang laki-laki atau perempuan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Al-Qayyim (lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/188, Mughni Al-Muhtaj Li As-Syirbiniy 1/229,Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/150, Kassyaf Al-Qina’ Li Al-Buhutiy 1/456, Al-Mughni 2/202, Al-Muhalla Li Ibni Hazm 2/167 dan I’lamul Muwaqqi’in Li Ibni Al-Qayyim 2/376).Menurut Hanafiyyah shalat berjamaah bagi perempuan hukumnya makruh, karena keluarnya mereka dari rumah untuk melaksanakan shalat berjamaah bisa menimbulkan fitnah. Begitu pula menurut Malikiyyah, mereka melarang wanita untuk mengukuti shalat berjamaah di masjid. Dan dibolehkan dengan syarat dia tidak takut bahwa dirinya menimbulkan fitnah (lihat: Al-Badai’ Li Al-Kasani 1/155-157, Hasyiyah Ibnu Abidin 380-381, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/202).

([2]) HR. Bukhari no.645 dan 646.

([3]) Lihat: Al-Muhalla Li Ibni Hazm 2/169.

([4)Lihat: Hasyiyyah Ar-Raudhul Murbi’ 2/256, Al-Badai’ 1/155.

([5]) Lihat: Al-Muhalla Li Ibni Hazm 4/219
([6]) HR. Abdurrazzaq no.5082, Ad-Daruquthni 1/405.
([7]) Lihat: Kassyaf Al-Qina’ Li Al-Buhutiy 1/456 dan Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/149.

والله تعالى أعلم بالصواب

  Dijawab oleh : Ustadz Abu Fathiyya Abdus Syakur,S.Ud,.M. Pd.I

Diperiksa oleh : ….

Official Account Grup Islam Sunnah (GiS)⁣⁣

WebsiteGIS: https://grupislamsunnah.com
Fanpage: web.facebook.com/grupislamsunnah
Instagram: instagram.com/grupislamsunnah
WebsiteGBS: grupbelanjasunnah.com
Telegram: t.me/s/grupislamsunnah
Telegram Soal Jawab: https://t.me/GiS_soaljawab
YouTube: bit.ly/grupislamsunnah

Ayo berbelanja di Merchandise GiS

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button